Kamis, 14 April 2016

WUJUD WAYANG PURWA DALAM PANDANGAN SYARA’


Wayang kulit purwa merupakan salah satu jenis wayang kulit yang cukup populer, khususnya dalam masyarakat Jawa. Wayang kulit ini mengkhususkan diri untuk menceritakan lakon Ramayana dan Mahabarata beserta carangannya. Jika wayang kulit tidak menceritakan kedua sumber lakon yang berasal dari India itu, tidak dapat disebut wayang purwa.

Kepopuleran wayang kulit purwa itu terlihat di segala lapisan masyarakat, sejak anak-anak hingga orang dewasa. Kedekatan masyarakat dengan wayang kulit purwa itu terkadang ada orang yang menganggap dirinya sebagai tokoh Werkudara atau Gatotkaca, karena dirinya memiliki tubuh besar, kekar, gagah, dan berkumis tebal. Ada pula seseorang menyamakan dirinya dengan dewi Srikandi atau Dewi Banowati karena kenes, branyak, dan agresif. Namun ada pula yang dipanggil Bagong karena tingkah lakunya seseorang mirip dengan Bagong, salah satu tokoh punakawan.

Hal ini tidak mengherankan karena wayang kulit purwa memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan jenis wayang lainnya. Nilai-nilai yang dapat dijumpai pada wayang kulit purwa cukup banyak, seperti nilai estetis, simbolis, filosofis, historis, pendidikan, dan sebagainya. Oleh karena itu, wayang kulit purwa hidup seiring dengan perkembangan zaman. Selama nilai yang dikandungnya tetap bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya, maka selama itu pula wayang kulit purwa tidak pernah mati.

Wayang kulit purwa telah dikenal sejak lama di Indonesia, setidaknya sejak abad kesepuluh, dengan sebutan “ringgit.” Pada waktu itu belum diketahui wujud wayang kulit purwa, tetapi cerita yang dibawakan mengambil serat Harjuna Wiwaha (Mahabarata). Bahan baku yang digunakan untuk membuat wayang adalah jenis kulit binatang yang disebutnya dengan welulang inukir (Welulang=Kulit binatang, inukir= diukir, ditatah). Pada masa kebudayaan Hindu, wayang kulit mengalami perkembangan yang cukup berarti. Wujud wayang kulit mengikuti bentuk relief candi di Jawa Timur. Bentuk wayang kulit pada waktu itu diduga mirip dengan wayang kulit Bali sekarang.


Kedatangan agama Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, mendorong terjadinya perubahan yang cukup besar di berbagai bidang kebudayaan, baik menyangkut perilaku manusia maupun hasil budayanya. Salah satu bidang kebudayaan yang cukup besar mengalami perubahan adalah wayang kulit. Jenis budaya ini semula telah dikenal secara luas dan berperan dalam kegiatan keagamaan serta telah memiliki bentuk dan tatanan baku. Pada waktu itu wayang mengalami perubahan secara total, baik menyangkut wujud maupun nilai yang terkandung di dalam agama.

Sejak masuknya agama Islam hingga sekarang ini. masih dijumpai pandangan negatif terhadap keberadaan seni rupa oleh tokoh-tokoh agama Islam. Pandangan seperti itu pada awalnya dilakukan oleh tokoh tokoh ulama. Mereka dididik keras dan bersungguh-sungguh untuk menjaga kemurnian ajaran agama Islam, terutama pada awal pengembangan agama tersebut, sedangkan masyarakatnya baru saja masuk agama Islam, sehingga masih banyak terpengaruh oleh kepercayaan sebelumnya. Oleh karena itu, dijumpai cabang-cabang seni yang kurang berkembang dengan baik, bahkan tidak dapat hidup sama sekali, khususnya seni yang menggambarkan manusia dan binatang (makluk hidup), karena dianggap haram.

Hiasan untuk tempat-tempat ibadah, seperti masjid, ada aturan tersendiri. Pada pokoknya, tila hiasan itu dapat mengganggu khusuknya seseorang melakukan ibadah, misalnya hiasan yang dapat melalaikan hati orang sembahyang, sehingga berubah niatnya, hukumnya makruh. Namun bila hiasan itu mengandung lukisan manusia dan binatang, meskipun disenai tulisan Al-Qur’an atau hiasan lainnya, hukumnya adalah haram.

Sesungguhnya dalam sumber ajaran-ajaran Islam tidak tertera secara jelas tentang larangan itu. Penentuannya didasarkan pada tafsir-tafsir terhadap ayat dari kitab suci dan sunah Nabi (hadits). Oleh karena itu kondisi sosial budaya pada saat dilakukannya tafsir itu akan sangat mempengaruhi hasil tafsimya. Salah satu ayat sumber penafsiran itu adalah sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) arak, berjudi, al-anshab, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan kotor, termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.

Kaum cendekiawan muslim menafsirkan kata al-anshab diartikan sebagai patung (gambar) manusia, yaitu berhala yang disembah dan dikeramatkan di samping Allah. Oleh karena itu bagi orang beriman diperintahkan untuk menjauhinya karena syirik. Penafsiran itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa pada masa selanjutnya.

Sumber penafsiran lainnya berasal dari hadits Nabi, antara lain sebagai berikut. Pertama, hadits yang menyatakan bahwa Rosul bersabda; "Malaikat ticak akan masuk ke dalam rumah yang berisi gambar-gambar (Shurah) atau anjing"; kedua hadits ini berhubungan dengan sunah Rosul yang berbunyi "Mereka yang akan mendapat siksaan yang paling pedih di hari kiamat adalah orang-orang yang membuat patung (Al-mushawirun)"; ketiga,  disampaikan atas nama Abu Thalkah, bahwa Rosululloh bersabda "Malaikat tidak akan memasuki sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar (Shurah)"

Di samping itu terdapat sumber lainnya yang menyokong pelarangan umat muslim membuat gambar makluk hidup, antara lain :
(1) Rasulullah bersabda "Malaikat tidak akan masuk kerumah yang ada anjingnya dan ada gambarnya". (HR.Bukhari dan Muslim).
(2) Rasulullah b ersabd a:" Sungguh, orang-orang yang membuat gambar ini akan disiksa di hari Kiamat". dikatakn kepada mereka (pembuatnya): Hidupkanlah ciptaanmu! (HR Bukhari).
(3) Rasulullah bersabda: "Allah azza wa jalla berfirman: Siapakah orang yang lebih aniaya daripada orang yang membuat ciptaan seperti ciptaanKu? Ciptakanlah bijinya, atau ciptakanlah benihnya!" (HR. Bukhari dan Muslim). (4) Dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda: Jibril as datang kepadaku, ia berkata: Saya datang kepadamu kemarin dan tidak ada yang mencegah saya untuk masuk selain karena ada gambar di pintu, ada kelambu di rumah yang bergambar dan di rumah yang ada anjingnya, diperintahkan agar kelambu itu di potong sehingga seperti bentuk pohon, perintahkan agar kelambu itu dipotong, jadikanlah kelambu itu sebagai bantal untuk duduk, perintahkan agar anjing itu keluar, kemudian Rasulullah saw', melakukannya (Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa I Ahmaddan Ibnu Hibban).
(5). "Ali berkata kepadaku, ingatlah, saya perintahkan kepadamu seperti yang diperintahkan kepadamu agar engkau tidak membiarkan patung kecuali ergkau hancurkan dia, dan tidak membiarkan kubur yang dimuliakan kecuali engkau ratakan dia (HR. Muslim, Abu Daud dari Tirmidzi dari Abu HayyajAl Asadi).

Namun dijumpai pula sumber pandangan yang melunakkan larangan terhadap seni rupa (penggambaran makluk hidup) dalam ajaran Islam, sehingga mendorong munculnya gaya seni dalam budaya Islam. Sumber itu adalah:

(1). Ibnu Abbas berkata (kepada seseorang pambuat gambar): Saya mendengar Rasulullah saw bersabda "Barang siapa yang membuat sebuah gambar di dunia ini maka ia akan dibebani untuk meniup nyawanya kelak di hari Kiamat dan ia tidak akan mampu (HR. Bukhari dan Muslim, dan lafadz hadist ini dari Muslim) ...... Ibnu Abbas menasehatkan "Kalau kamu memang harus melakukannya maka buatlah gambar pohon-pohonan dan lain-lainnya yang tidak bernyawa.
(2). Dari Aisyah ra Rasulullah saw. datang dari suatu perjalanan dan saya telah memasang kelambu yang bergambar. Beliau menyuruh saya untuk melepaskannya, maka sayapun melepasnya (Riwayat Bukhari). Dalam Riwayat Muslim disebutkan 'Saya telah menutup pintu dengan kelambu yang bergambar dengan kuda bersayap". Dalam Riwayat Muslim lainnya, disebutkan "Rasulullah saw. masuk ke kamarku dan saya menutupnya dengan kelambu yang bergambar". Rasulullah saw. melepaskannya kemudian saya jadikan untuk dua bantal.
(3) Aisyah berkata "Kami bermain-main dengan boneka di masa Rasulullah, kami mempunyai teman-teman yang bermain bersama kami. Pada waktu Rosuluilah masuk, mereka bersembunyi. Beliau menyuruh mereka agar keluar dan bermain bersama kami.

Banyak ulama muslim yang menafsirkan hadits tersebut, di antaranya Asy-Syaukani, An-Nawawi, Ash-Shabuni, dan Al-Aini. Dalam tafsirnya, itu secara garis besar mereka mengharamkan pembuatan gambar (patung) manusia. Pelarangan pembuatan gambar (patung) manusia dan binatang itu didasarkan pada kekhawatiran masyarakat muslim akan kembali ke penyembahan berhala, karena mereka baru saja masuk agama Islam, sehingga tradisi yang telah dialami sebelumnya akan mudah kembali dalam kehidupannya. Namun setelah Rosululloh merasa pasti akan keteguhan iman dari orang-orang Arab, maka beliau memperkenankan patung-patung itu dan tidak mempersoalkan lebih jauh.

Pandangan ulama yang melarang penggambaran makluk hidup itu sangat mempengaruhi seniman muslim, sehingga karyanya tidak ada yang realistik. Kemampuan artistiknya beralih pada motif-motif dekoratif yang bercorak flora dan geometrik. Seniman muslim sangat terlatih dalam bidang pembuatan ornamen yang penuh dengan penggayaan atau stilistik untuk berbagai keperluan.

Kepiawaian dalam bidang ini menyebar ke dunia Barat, yang kemudian dikenal dengan gaya Arabesque. Kebiasaan dalam berkarya dengan gaya stilisasi bentuk itu difungsikan dalam menggambar manusia atau binatang, sehingga tampilannya tidak lagi realistik. Oleh karena itu produk-produk seni rupa pada masa Islam dipenuhi oleh gaya stilistik yang nimit dan mengagumkan.

Wayang kulit merupakan produk budaya yang dihasilkan jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, yang hingga kini keberadaanya masih dipertahankan. Namun dalam kelangsungannya wayang kulit mengalami perubahan drastis, baik menyangkut bentuk maupun pemaknaannya. Wayang kulit purwa yang telah  menemukan bentuknya pada masa Hindu Jawa, pada masa Islam mengalami pembahan di segala bidang, dari tampilan wujud hingga fungsinya yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran dan aturan dalam agama Islam.

Memasuki masa Islam di Indonesia, wayang kulit purwa berkembang pesat setelahterjadi akulturasi antara budaya lama dengan budaya baru, yaitu ajaran Hindu dan Islam, sehingga wujud wayang kulit menjadi suatu karya seni yang tinggi nilainya. Wayang berkembang secara menyeluruh, baik secara fisik maupun nilai simbolisnya. Penggambaran lokoh wayang bergaya relief candi mulai ditinggalkan dan digantikan dengan gaya stilistik dan mengarah pada perlambangan. Pada masa Islam ini ditegaskan bahwa penggunaan kulit sebagai bahan baku wayang yang sebelumnya belum disebutkan secara jelas, tetapi pada masa ini digunakan kulit binatang kerbau, bahkan bahan pewarna putih menggunakan tepung tulang kerbau, yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan putihan balung.

Stilisasi bentuk wayang kulit purwa sudah sangat jauh dari sumbernya. Namun demikian bentuk wayang kulit masih dapat dikenali bagian-bagiannya. Bentuk wayang kulit purwa yang telah digayakan sedemikian jauh itu membuat sangat berbeda dengan wujud manusia. Dalam seni rupa modem, penampilan wayang kulit purwa tergolong ideoplastik, yaitu penggambaran sesuatu berdasar pada apa yang diketahui, bukan apa yang dilihat.

Oleh karena itu penggambaran manusia pada wayang kulit diusahakan sesuai dengan kondisi manusia sebenarnya, seperti yang tertangkap oleh ide. Secara filosofis tidak salah, karena mata tidak lebih istimewa dibandingkan dengan pikiran, jadi gambaran yang menurut pengamatan mata (visioplastik) tidak lebih baik dan benar dari penggambaran menurut pikiran.

Gaya penggambaran wayang kulit purwa yang demikian itu merupakan pilihan para ahli pada saat itu dan merupakan akibat dari langkanya penggambaran secara realistik. Hal ini ditempuh agar wayang kulit purwa dapat tampil dengan baik dan tidak melanggar larangan menurut ajaran agama Islam. Dengan demikian, wayang kulit purwa dapat diterima dalam agama Islam, karena tidak lagi menggambarkan manusia atau binatang secara realistis. Kenyataannya, wujud wayang kulit purwa sudah berbeda jauh dengan gambar manusia.

Walau wayang kulit memiliki mata, hidung, mulut, dan bagian lainnya, tetapi sudah tidak sama lagi, tidak mirip dengan mata, hidung, dan mulut orang. Namun demikian, hidung yang runcing. mata sipit dan panjang, serta bentuk mulut yang berkelok-kelok, leher kecil sebesar lengan, tangan yang panjang hingga menyentuh kaki, seperti Arjuna sebagai sosok yang bagus dan rupawan, justru menjadi idola masyarakat pendukung wayang kulit purwa.
gambar bentuk mata wayang

gambar bentuk hidung wayang
gambar wayang Arjuna

Tokoh wayang kulit purwa berdasar atributnya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
(1) golongan raton (untuk kelompok raja/ratu);
(2) golongan satria (untuk tokoh yang berbusana kasatrian  dan tokoh putri);
(3) golongan Bala (untuk tokoh-tokoh prajurit, rucah, dan tokoh punakawan (dagelan).

 Di samping itu dalam pengelompokkan tokoh wayang purwa dapat dilakukan berdasar pada karakternya, yaitu alusan luruh, alusan lanyap (branyak), pidekso, gagahan, gusen, denawa (bangsa raksasa), rewanda (bangsa kera) dan dagelan.

Kedelapan kelompok tokoh wayang kulit purwa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Karakter alusan uruh. Tokoh wayang purwa yang termasuk dalam kelompok ini adalah tokoh yang bertubuh ramping, bermata liyepan atau gubahan, posisi muka tumungkul, pandangan mengarah pada kakinya. Contohnya Prabu Rama, Arjuna, Abimanyu, Sembadra, Bambang Irawan, dan Leksmana.


(2) Karakter alusan lanyap (branyak). Pada umumnya yang termasuk dalam kedompok ini adalah tokoh yang berbadan kecil dan ramping, bermata liyepar. (gabahan) dengan posisi muka langak, yaitu pandangan lurus ke depan. Sebagai contoh misalnya: RadenSamba, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, dan Kresna.

(3) Karakter Pidekso. Tokoh yang termasuk dalam kelompok ini umumnya berbadan sedang dan berisi dengan bentuk mata dinamakan kedelan, berhidung sembodo. Contohnya tokoh: Setyaki, Udawa, Salya, Resi Seta, dan Utara.

(4) Karakter Gagahan. Tokoh wayang purwa dalam kelompok ini umumnya berpenampilan kekar dan berotot, bermata thelengan atau peten, berhidung bentulan. Misalnya Werkudara, Gatutkaca, Duryudana, Antareja, dan Antasena.


(5) Karakter Gusen. Tokoh wayang kulit purwa dalam kelonpok ini berpenampilan brasak dengan menonjolkan gambaran gusi. Ada dua jenis gusen, yaitu gusen langgung (gusen alus) dan gusen gagahan. Tokoh-tokohnya antara lain Dursasana, Burisrawa, patih sengkuni, Durmagati, dan Pragota


(6) Karakter denawa (Raksasa). Tokoh wayang purwa yang masuk dalam kelompok ini umumnya bertubuh besar, bermata plelengan ageng, kiyipan. berhidung pelokan dan bemulut ngablak. Misalnya Kumbakarna, Prahasta, Suratrimantra, dan Brahala.

(7) Karakter rewanda (Wanara). Tokoh yang termasuk dalam kelompok ini adalah tokoh yang menggambarkan kera, sehingga memiliki ciri khas, seperli berekor panjang, bermata pecicilan, dengan penggambaran bulu-bulu pada sekujur tubuhnya dengan pewarnaan sesuai dengan karakter tokohnya. Misalnya Anoman (berwarna putih), Anggodo (berwarna kapurento), Anila (berwarna biru), Jembawan (berwarna merah muda) dan Suwidho (berwarna hitam).


(8) Karakter dagelan. Dalam kelompok ini wujud tokohnya bermacam-macam. Masing-masing tokoh memiliki ciri khas tersendiri, berpenampilan lucu dari tidak proporsional. Golongan dagelan atau punakawan merupakan kelompok tersendiri dalam wayang kulit purwa, karena atribut yang sederhana, tampilan yang aneh-aneh namun mengundang tawa yang dapat menyegarkan suasana. Tokoh-tokoh punakawan selalu saja menjadi sarana untuk menyampaikan informasi-informasi dari dalang kepada masyarakat, ketika pergelaran wayang kulit purwa sedang diselenggarakan, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah yang bergayutan dengan keperluan pemerintahan maupun masalah sosial lain yang aktual dalam masyarakat. Tokoh punakawan, yang benmknya tidak proporsional jika dibandingkan dengan tokoh wayang dan kelompok lainnya, merupakan salah satu ciri khasnya. Bentuk yang lucu dan mengundang tawa, umumnya menjadi tidak wajar, mengandung arti simbolis. Tokoh-tokohnya antara lain Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Bilung, Limbuk, dan Cangik.

 Pengaruh agama Islam dalam wayang kulit purwa tidak hanya pada bentuk secara global, tetapi nampak pula pada penerapan ornamentasi busana wayang. Seperti penggambaran motif poleng bang bintulu aji, umumnya dipakai oleh tokoh-tokoh bayu, dengan memakai wama-wama merah, putih, kuning, dan hitam, hal itu merupakan bentuk simbolisasi dari nafsu manusia, yang di dalam ajaran Islam disebut dengan lawamah, sufiah, amarah, dan mutnainah. Nafsu merah dari anasir api, hitam dari anasir tanah, kuning dari anasir udara (suasana) dan putih dari anasir air. Empat anasir itu merupakan unsur pembentuk jasmani manusia, yang masing-masing membawa sifat aslinya.



Budaya keislaman dalam wayang kulit purwa tidak saja dijumpai pada wujud seperti diuraikan di atas, tetapi diketemukan pula pada istilah-istilah dalam bahasa pedhalangan, bahasa wayang, nama tokoh wavang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan. Satu hal yang sangat menonjol dalam penggambaran wayang kulit terlihat pada penggambaran tokoh Batara Guru salah satu tokoh dewa yang bertangan empat. Penggambaran tokoh ini masih mengacu pada penggambaran tokoh dari masa Hindu seperti terdapat pada relief candi.



Sebagai penutup uraian ini, dapat disimpulkan, bahwa larangan penggambaran makluk hidup dalam agama Islam tidak membatasi perkembangan tetapi justru mendorong terbentuknya gaya penggambaran baru dalam wayang kulit purwa. Wujudnya dibangun berdasar keahlian seniman muslim dengan gaya stilistik. Hal ini karena ada tuntunan yang mengharamkan penggambaran makhluk hidup.


Penggambaran wayang kulit dengan gaya stilitik tidak lagi menggambarkan bentuk manusia secara natural, tetapi telah diolah sedemikian rupa sehingga tidak lagi melanggar larangan agama. Gaya penggambaran wayang kulit purwa pada masa Islam, dalam seni rupa modem dinamakan penggambaran manusia secara ideoplastik, yakni penggambaran berdasarkan apa yang dipikirkan. Pengaruh Islam dalam wayang kulit purwa tidak saja pada bentuknya, tetapi telah merambah pula pada aspek simbolisasi dan aspek lain yang berhubungan dengan pergelaran wayang kulit purwa.


DAFTAR PUSTAKA
Aboebakar.H. 1955. Sejarah Masjid dan Amal Ibadah di Dalamnya. Banjarmasin : Toko Buku Adil
Guritno, Pandam, 1988. Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta :UI Press
Poedjosoebroto, R., 1978. Wayang Lambang Ajaran Islam ,Jakarta: Pradnya Paramita
Sunarto, 1989. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta, Jakarta; Balai Fustaka,.
Sunarto. Tanpa tahun. Pengaruh Islam dalam Perwujudan Wayang Kulit Purna. Jurnal Seni Rupa dan desain.
Sunarto Yudosaputro, Wiyoso, 1986. Pengantar Seni Rupa Islam Indonesia. Bandung: Angkasa

Zarkasi, Effendy, 1977.Unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung : PT Al-Ma’Arif.

Minggu, 03 April 2016

WAYANG DAN PESAN DAKWAH SIMBOLIS


Wayang merupakan salah satu media dakwah yang digunakan sejak zaman penyeberan islam melalui para ulama yang sering disebut dengan “Walisongo” khususnya di kawasan tanah jawa. Pada perkembangannya meskipun sudah beratus-ratus tahun, ternyata wayang masih tetap eksis digunakan sebagai media dakwah hingga saat ini. Tentunya dengan menyesuaikan dengan kondisisi zaman dan perkembangan teknologi yang ada.

Secara harfiyah wayang berarti bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dengan film dimana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang itu dikenal dengan dalang, yang peranannya dapat didominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di Jawa.

Apabila ditinjau dari sisi asal-usulnya, pertunjukan wayang merupakan salah satu bentuk teater tradisional paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertujukan wayang yaitu yang terdapat pada Prasasti Belitung dengan 907 M yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertujukan wayang. Lebih jauh lagi menurut Sri Mulyono pertunjukan wayang timbul kurang lebih pada Zaman Neolithikum atau kurang lebih pada tahun 1500 sebelum masehi.

Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Lombok dan Kalimantan, Sumatera dan lain-lainya, baik yang masih populer maupun yang hampir punah atau sudah punah dan hanya dikenal dalam kepustakaan atau museum-museum. Dari beragam wayang, yang paling terkenal, tersebar luas dan diketahui perkembangan sejarahnya adalah wayang purwa. 

Wayang purwa atau orang awan sering menyebutnya wayang kulit adalah salah satu jenis wayang yang berupa boneka pipih yang terbuat dari kulit lembu. Penyaduran sumber ceritanya dari epos Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ke dalam bahasa jawa kuna dilakukan pada masa Jayabaya oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh serta Empu Kanwa. Sunan Kalijaga, salah seorang walisanga (Demak, Abad XV) adalah orang yang pertama kali menciptakan wayang dengan bahan dari kulit lembu.

Wayang purwa telah disebutkan dalam Kekawin Arjuna Wiwaha Karya Empu Kanwa pada zaman  pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur (1019-1043 M). Jika dihitung dari zaman itu wayang purwa telah dikenal dan digemari selama hampir seribu tahun. Pada masa Sunan Kalijaga wayang digubah sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai media dakwah  islam. Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan dengan rakyat dan juga untuk menarik simpati rakyat. Karena pada waktu itu masyarakat lebih suka dengan keramaian, maka sangat cocok apabila Sunan Kalijaga dalam berdakwah dengan menggunakan wayang yang diiringi dengan musik gamelan.

Sunan Kalijaga dan para wali lainnya menggubah wayang sehingga tidak bertentangan dengan islam. Bentuk  wayang yang semula hanya beberan (lembaran)  kemudian dipisah-pisah sehingga dapat digerakkan tokoh satu dan lainnya. Kemudian bentuknya yang semula seperti bentuk dalam arca candi kemudian dirubah, digambar dengan wajah miring dan distilasi (digayakan) sehingga jauh berbeda dengan bentuk semula dan  tidak bertentangan dengan  islam. Sunan Kalijaga beserta Sunan Bonang dan Sunan Giri menciptakan wayang punakawan pandawa yang terdiri dari semar, petruk, dan gareng.

Pada Perkembangan selanjutnya wayang dikembangkan lebih lanjut pada masa keraton Pajang, Mataram hingga Ngayogjakarta dan Surakarta. Pada masa Kesultanan Pajang dibuat wayang dengan membedakan antara raja dan  para punggawa. Pada masa Panembahan Senopati menambahkan binatang hutan. Pada masa Sultang Agung Hanyakrakusuma bentuk wayang disempurnakan bentuk mata dibedakan antara kedondongan dan  liyepan. Bentuk wayang semakin berkembang dan sempurna dengan berbagai variasinya seperti sekarang.Variasi wayang purwa (gagrag) secara umum terbagi berdasarkan daerahnya yang memiliki ciri khas masing-masing. Beberapa variasi tersebut antara lain : Gagrag Yogyakarta, Gagrag Surakarta, Gagrag Banyumasan, Gagrag Cirebonan, dan Gagrag Jawatimuran.

Wayang Purwa dengan segala perkembangannya mengandung arti dan falsafah yang sangat mendalam. Mulai dari segela perangkat peralatan yang digunakan, bentuk fisik wayang, hingga penyajian cerita dalam wayang purwa memiliki makna tersendiri. Bahkan bagi masyarakat jawa wayang bukan saja tontonan melainkan juga tuntunan. Wayang juga merupakan refleksi dari sosial kemasyaraktan dan falsafah jawa.

Cerita lakon wayang mencerminkan perlambang kehidupan manusia. Tidak hanya jalan cerita saja, tetapi penanggap wayang, dhalang, wayang dan segala perlengkapannya juga berisi perlambangan yang disebut pralambang, pralampita, atau pasemon (sindiran) sehingga terjadilah semacam anekdot “orang jawa tempat sindiran.” Caranya dengan barang, gambar, warna,bahasa dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak pralambang adalah apa yang disebut dengan “pralambang pakarti” (tingkah laku). Dalam karakter tokoh pewayangan seorang yang sakti, berilmu tinggi, sosok pandita selalu menggendong tangan kirinya, jika sedang berjalan tangan kanannya saja yang bergerak. Ini adalah perlambangan orang suci yang berilmu tinggi.

Pralambang lain yaitu pralambang berupa barang misalnya : Adas pula-waras (berarti orang sakit akan waras), pupus gedang (orang yang sakit akan mati, sanak saudaranya agar mupus/merelakan takdir Tuhan), gulungan tembakau (orang yang sakit akan dibungkus seperti menggulung rokok, karena sudah tidak dapat diobati), jarit putih (orang yang sakit akan mati dibungkus kain kafan yang berwarna putih). Adapun pralambang warna misalnya: merah berarti berani, putih berarti suci, kuning berarti luhur/agung, dan sebagainya.

Kebiasaan masyarakat jawa yang lekat dengan perlambangan ini dimanfaatkan oleh para wali untuk memasukan unsur islam ke dalam pertunjukan wayang purwa. Dalam cerita Jamus Kalimasada merupakan perlambangan dari kalimat syahadat yaitu syarat pertama seseorang memeluk islam. Tokoh wayang satriya pandawa dalam kisah mahabharata kemudian dipersonifikasikan sebagai 5 rukun islam. Bahkan kisah pewayang juga dijadikan media untuk mengajarkan tasawuf seperti dalam lakon “Bima Ngaji” atau “Dewa Ruci.”

Falsafah Islam yang lain juga terdapat dalam gunungan. Sebelum pertunjukan wayang dimulai, gunungan ditaruh di tengah-tengah  kelir yang merupakan titik pusat jangkauan mata penonton. Gunungan ini merupakan gambaran simbolis dari “Mustika Masjid.” Apabila gunungan di jungkir balik maka akan menyerupai jantung manusia. Makna yang tersirat tidak sembarangan, karena mengandungb falsafah islam. Sebagai orang hidup, jantungnya harus selalu berada di masjid. Jika orang itu belum ada niat ke masjid, berarti imannya belum sempurna. Gunungan oleh ki dalang selalu ditancapkan di tengah kelir ketika awal pertunjukan ini mengandung arti bahwa yang pertama-tama diperhatikan dalam hidup ini adalah masjidnya, yang berarti beribadah kepada Allah sebagai tujuan hidup manusia.

REFERENSI
Bustomi, Suwaji. 1993. Nilai-Nilai Seni Pewayangan. Semarang : Dahara Prize
Ismunandar K, RM. 1994. Wayang Asal-Usul dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize
Kuning, Bendung Layung. 2011. Atlas Tokoh-Tokoh Wayang dari Riwayat sampai Silsilahnya. Yogyakarta: Narasi
Mulyono, Sri. 1975. Wayang, Asal-usul. Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: BP.Alda
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize
Susilo dkk, Bambang. 1993. Seneng Wayang Cinta Budaya. Semarang: Media Wiyata



WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH


Sejarah penyebaran islam di nusantara tidak lepas dari peran walisongo. Walisongo terutama Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya untuk menyebarkan islam. Pendekatan ini dipilih dalam rangka memudahkan dakwah kepada masyarakat yang pada masa itu masih menganut hindhu-budha. Salahsatu bentuk kesenian yang dipakai adalah wayang purwa atau wayang kulit.

Kesenian ini diciptakan oleh para wali untuk syiar agama Islam sekaligus mengumandangkan rasa persaudaran antara agama khususnya Islam dan Hindhu. Suluk-suluk dan tembangnya disadur dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Gamelan atau musiknya dikembangkan dari karawitan yang ada dilengkapkan menjadi seperti sekarang, yaitu slendro dan pelog. Setiap komponen diberi makna sesuai tuntunan hidup dalam agama Islam.

Sedangkan ceritanya disadur dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Sunan kalijaga yang merupakan Salah satu dari walisongo mempunyai pandangan bahwa dakwah itu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Adat istiadat rakyat yang berbau Hindhu dan Budha jangan langsung diberantas, akan tetapi diperlihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan. Adapun cara mengubahnya dengan sedikit demi sedikit memberi warna baru kepada budaya yang lama (Hindhu dan Budha) mengikuti sambil mempengaruhi dan mengisinya dengan jiwa Islam, maka dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.

Sunan Kalijaga merupakan wali yang suka berdakwah dengan menggunakan sarana kesenian dan kebudayaan. Sunan Kalijaga merupakan tokoh walisongo yang suka menggunakan wayang kulit untuk berdakwah. Dalam buku Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang digubah pada tahun1984 oleh Iman Anom, Salah seorang keturunan dekat Sunan kalijagayang berisi:

“Badarina dipun kadi wayang, kinudang aneng enggone, padhange
blincongipun, ngibarate panggunggireki, damare ditya wulan, kelir
alam suwung, ingkang nenggo cipta keboh bumi tetepe adege ringgit,
sinangga maring nanggap”.

Artinya: anggaplah ragamu wayang digerakkan ditempatnya, terangnya
blencong itu, ibarat panggung kehidupanmu, lampunya bulan purnama,
layar ibarat alam jagat raya yang sepi kosong yang selalu menunggununggu
buah pikir/kreasi manusia, batang pisang ibarat bumi tempat
mukimnya wayang/manusia, hidupnya ditunjang oleh yang nanggap.

Dari pernyataan di atas dapat di gambarkan bahwa Sunan Kalijaga dalam  berdakwah mengemukakan bahwa raga manusia itu dianggap sebagai wayang, sedangkan panggung kehidupan diibartakan seperti blencong atau lampu. Sedangkan layar diibaratkan sebagai alam yang selalu menunggu kreasi manusia supaya tidak sepi dan kosong. Batang pisang yang fungsinya untuk menancapkan wayang diibaratkan bumi tempat tinggal manusia. Yang mengatur seluruh hidup manusia adalah Allah SWT.

Sunan Kalijaga memanfaatkan pagelaran wayang sebagai media dakwah untuk penyebaran agama/kepercayaan Islam. Sebagai dalang beliau terkenal dengan sebutan “Kidalang sang Kuncoro Purwo”. Ini berarti dizaman itu wayang sudah merupakan media informasi dan komunikasi yang efektif, edukatif dan persuatif.

Disamping itu media wayang yang dipergunakan pengislaman wayang (yang waktu itu menganut agama Hindhu dan Budha) yang konon dilakukan oleh sunan kalijaga pada saat pertunjukan akan diadakan dengan cara setiap pengunjung membaca kalimat sahadat sebagai “Tanggapannya” (menurut bahasa cirebon tanggapan berarti pembayaran untuk dapatmenonton suatu pertunjukan).

Berhasil tidaknya dakwah itu diantaranya tergantung pada da’i, sedangkan dakwah dengan menggunakan media wayang itu berhasil tidaknya tergantung pada dalangnya dalam memainkan wayang dan menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Peran dalang sangat penting dalam pertunjukan wayang. Karena pertunjukan wayang itu tidak mungkin ada tanpa adanya dalang.

Bagi masyarakat jawa, wayang tidaklah hanya sekedar tontonan tetapi juga sebagai tuntunan. Wayang bukan hanya sekedar sebagai saran hiburan, akan tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan, media pendidikan dan juga bisa digunakan sebagai media dakwah. Kwalitas pertunjukan wayang, baik fungsinya sebagai tontonan maupun sebagai tuntunan, memang sangat ditentukan oleh sang dalang.

Dilihat dari aspek wayang sebagai tuntunan, peranan dalang hampir-hampir sangat mutlak. Untuk bisa memberikan tuntunan kepada.masyarakat, khususnya para penonton, seorang dalang harus menguasai hampir segala hal. Dalam istilah Jawa ia harus mumpuni. Seorang dalang memang seharusnya memiliki kwalitas diri yang melampaui anggota masyarakat lainnya.

Seorang dalang itu bukan saja hanya sebagai penghibur tetapi juga sebagai komunikator, sebagai penyuluh, sebagai penutur, pendidik atau guru bagi masyarakat dan juga diharapkan rohaniawan yang selalu berkewajiban mengajak masyarakat untuk berbuat kebaikan dan melarang kejahatan, menanamkan kepada masyarakat semangat amar ma’ruf nahi munkar, sesuai dengan ajaran agama.

Adapun lakon-lakon yang ditayangkan oleh para wali dari lakon karangan Mahabarta dan Ramayana yang diambil tokoh-tokohnya sebagai pelaku. Ditambahkan pula tokoh-tokoh karangan sendiri yaitu figure punokawan antara lain semarnala garengpetruk, dan bagong, bukan merupakan sebutan bahasa jawa kuno, tetapi berasal dari bahasa arab yaitu:

Semar yang berasal dari Ismaar
Nala gareng berasal dari Naala qariin
Petruk berasal dari Fatruk
Bagong berasal dari Baghaa.

Adegan punokawan (goro-goro) memang banyak diminati penonton disetiap pertunjukan. Humor, kritik merupakan isi adegan ini, jadi sangat tepat apabila pesan Islam masuk goro-goro. Sedangkan lakon pertama yang ditayangkan oleh sunan Kalijaga adalah Bhimo suci. Lakon ini menggambarkan bagaimana seseoarang mendapat godaan dalam menuntut keimanan.

Dalam perkembangannya banyak wujud wayang kulit dalam kreasi baru yang dintaranya adalah wayang sadat. Wayang sadat ini berdasarkan pada paham (ajaran) Islam yang berfungsi sebagai sarana dakwah. Wujud wayang sadat masih masih berdasasr pada wayang kulit purwa, baik atribut maupun stilasinya. Hanya saja bagian muka dan tangan serta irah-irahan (ikat kepala) mendapat beberapa gubahan.

Cerita wayang sadat berkisar pada masa penyebaran ajaran Islam di Jawa (pada masa dikenalnya para wali di Demak) hingga pada masa berdirinya berdirinya kesultanan mataram.Sesuai dengan misinya wayang sadat disamping wujud wayangyang bercorak Islam, sarana lainnya juga disesuaikan dengan Islam. Baik dalang maupun niyaga memakai memakai serban, serta anggota lainnyapun memakai busana muslim. Awal pertunjukan wayang sadat biasanya dimulai engan pemukulan beduk yang kemudian dibuka dengan salam.

REFERENSI
Amin, Darori dkk. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Anom,Imam.  1993. Suluk Linglung Sunan Kalijaga, Terj. Muhammad Khafidz Basri,dkk. Jakarta: Balai Pustaka
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize
Sutarno, tanpa tahun. Wayang Kulit Jawa, Surakarta: Cendrawasih




PENGERTIAN DAKWAH, DASAR KEWAJIBAN DAKWAH DAN UNSUR-UNSUR DAKWAH


1. Pengertian Dakwah

Secara bahasa, “Dakwah” berasal dari kata Arab دعا- يدعو- دعوة
 yang berarti: “ajakan, seruan, panggilan, undangan”. 

Sedang menurut pakar, pengertian dakwah sebagai berikut:

Dr. Hamzah Ya’kub mendefinisikan dakwah ialah mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan rasul-Nya.

Drs. Barmawi Umari menambahkan bahwa dakwah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan dimasa sekarang dan yang akan datang.

Setelah kita mengetahui pendapat-pendapat dari beberapa
pakar mengenai dakwah ini, kita dapat mengetahui adanya persamaan persamaan
unsur tertentu, antara lain:
a. Unsur mengajak ke jalan yang benar menurut garis-garis dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam agama Islam.
b. Unsur amar ma’ruf nahi munkar, yakni menyuruh manusia untuk melakukan amal kebajikan serta melarang manusia untuk berbuat kurang baik.
c. Unsur tujuan hidup manusia, yakni untuk memperolah kemaslahatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Melihat persamaan-persamaan tersebut maka penulis akan mengambil kesimpulan tentang pengertian dakwah yaitu mengajak dan sebagainya kepada manusia lain baik perorangan maupun kelompok
agar melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sesuai ajaran Islam secara penuh guna memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2. Dasar Kewajiban Dakwah

Dasar dari kewajiban dakwah ialah Al Qur’an surat Al-Imron
ayat 104:

ولتكن منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن
المنكر واولئك هم المفلحون.

Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”

Kemudian pada surat An-Nahl ayat 125, Allah menegaskan:

ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هى
احسن ان ربك هو اعلم بمن ضل عن سبيله وهو اعلم بالمهتدين.

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Meskipun seorang muslim mendapat perintah Allah untuk menyerukan manusia, memperbaiki kehidupan sesuai jalan Allah, akan tetapi dalam prakteknya Islam memberi kebebasan manusia untuk
menentukan agamanya. Firman Allah dalam surat Al Baqarah: 256.

لااآره فىالدين قد تبين الرشد من الغي.

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang Salah....”


3. Unsur-unsur Dakwah
Suatu aktifitas bila berjalan sebagaimana mestinya pastilah ada unsur-unsur yang saling mendukung satu sama lain. Begitu juga dengan aktivitas dakwah, terdapat unsur-unsur yang saling mempengaruhi.

Dakwah ini memiliki lima unsur pokok yaitu:

a. Subyek (da’i)
Da’i merupakan pelaksana kegiatan dakwah, baik secara individu maupun secara kelompok (organisasi). Da’i merupakan Salah satu unsur dari dakwah. Dakwah tidak mungkin terselenggara
walaupun unsur-unsur yang lainnya terpenuhi dengan sempurna. Da’i adalah seorang muslim yang memiliki syarat-syarat dengan kemampuan tertentu yang dapat melaksanakan dakwah dengan baik. Da’i biasa juga disebut dengan mubaligh yang merupakan pelaksana dakwah serta juru dakwah.
Adapun syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadiseorang da’i menurut Hafi Anshari antara lain:

1) Persyaratan jasmani (fisik) 
Kesehatan jasmani menjadi faktor yang penting dalammemperlancar dakwah disamping itu juga kondisi jasmani dan penampilan fisik seorang da’i akan menjadi kebanggaan bagi mad’u. Persyaratan yang dimaksud meliputi: kesehatan jasmani secara umum, keadaan tubuh bagian dalam dan keadaan tubuh mengenai cacat atau tidak
2) Persyaratan ilmu pengetahuan
Persyaratan ilmu pengetahuan ini berkaitan dengan pemahaman da’i terhadap unsur-unsur dakwah yang ada seperti mad’u,materi, media serta tujuan dakwah.
3) Persyaratan kepribadian
Sebagai pemimpin yang akan menjadi panutan, sudah barang tentu haruslah mempunyai kewibawaan, sedangkan kewibawaan itu terwujud ditentukan oleh faktor kemampuan da’i untuk
memulai dari dirinya lebih dahulu sebagai contoh danketeladanan.

Seorang da’i haruslah mempunyai kepribadian yang baik, watak dan sikapnya menyenangkan, perlakunya baik dan bisa dijadikan contoh, perkataannya selalu benar, sedangkan sifat-sifatnya
mulia dan terpuji, akhlaknya juga baik, yang kesemuanya itu tercermin didalam kepribadian Rasulullah SAW.

b. Obyek (mad’u)
Masyarakat sebagai penerima dakwah, sasaran dakwah atau kepada siapa dakwah itu ditujukan. Karena penerima dakwah adalah individu ataupun masyarakat, tentu akan dijumpai mad’u yang latar
belakangnya berbeda-beda. Untuk menghadapi ini da’i atau mubaligh melengkapi dirinya dengan pengetahuan ilmu jiwa (psikologi), sosiologi, ilmu politik, ilmu sejarah, antropologi dan lain sebagainya. Dalam menghadapi mad’u yang latar belakangnya berbedabeda seperti jenis kelamin, tingkat umur, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, dan lain-lain maka da’i harus membekali diri dengan disiplin ilmu yang mendukung. Oleh sebab itu mad’u memiliki keunikan individu artinya setiap individu memiliki karakteristik, sifat, kebutuhan dan sebagainya yang berbeda-beda.

c. Materi dakwah
Materi dakwah kadang-kadang disebut dengan ideologi dakwah yaitu ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam berpangkal pada dua pokok yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Kedua hal tersebut menjadi landasan da’i dalam menyampaikan pesannya. Ia tidak boleh menyimpang dan harus selalu belajar dan menggali ajaran Islam guna menambah wawasan keIslaman, yang nantinya diharapkan menjadi modal da’i untuk lebih menguatkan mad’u dalam memahami Islam.

Adapun materi dakwah itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal pokok yaitu:
1) Akidah, yaitu menyangkut sistem keimanan/kepercayaan terhadap Allah SWT.
2) Syariah, yaitu serangkaian ajaran yang menyangkut aktifitas manusia muslim didalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, mana
yang halal dan haram dan lain sebagainya
3) Akhlak, yaitu menyangkut tata cara berhubungan dengan Allah maupun sesama makhluk dan seluruh makhluk-makhluk Allah.

d. Media dakwah
Media dakwah adalah alat yang dipakai sebagai perantara untuk melaksanakan kegiatan dakwah. Adapun alat-alat tersebut antara lain:
1) Dakwah melalui saluran lisan
Yang dimaksud dakwah secara lisan adalah dakwah secaralangsung dimana da’i menyampaikan ajakan dakwahnya kepada mad’u.
2) Dakwah melalui saluran tertulis
Dakwah dengan saluran tertulis adalah kegiatan dakwah yangdilakukan melalui tulisan-tulisan. Kegiatan dakwah tertulis ini dapat dilakukan melalui surat-surat kabar, majalah, buku-buku, buletin dan lain sebagainya.
3) Dakwah melalui alat-alat audio visual
Alat audio visual adalah peralatan yang dipakai untuk menyampaikan pesan dakwah yang dapat dinikmati dengan mendengar dan melihat. Peralatan audio visual ini antara lain: TV, seni drama, wayang kulit, video cassete dan lain sebagainya.
4) Dakwah melalui keteladanan.
Dakwah yang paling efektif adalah bentuk penyampaian pesan dakwah melalui bentuk percontohan atau keteladanan dari da’i. Dengan demikian akan menampakkan adanya bentuk yang konsekuen antara pernyataan dan pelaksanaan.

e. Tujuan dakwah
Dalam hidup orientasi manusia mencari kebahagiaan seperti makan, minum, bergaul, menempuh pendidikan, bekerja dan sebagainya adalah contoh-contoh keseharian. Namun menurut Islam, kebahagiaan yang hakiki hanyalah mengingat Allah. Jadi bukan sebab tingginya jabatan status sosial seseorang maupun harta berlimpah, manusia mencapai derajat kebahagiaan yang sesungguhnya.

Firman Allah dalam surat Ar-Ra’du ayat 28:

الذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذآرالله الابذآرالله تطمئن القلوب.
Artinya: “(yaitu) orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”.

Menurut Abdur Rasyid Saleh  usahadakwah baik dalam bentuk menyeru atau mengajak umat manusia agar bersedia menerima dan memeluk Islam, maupun dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar, tujuannya dalam terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridloi Allah SWT.

REFERENSI
Ya’kub, Hamzah. 1981. Publisistik Islam. Bandung: Diponegoro
Umari, Barwawi. 1969. Azas-azas Ilmu Dakwah. Surakarta: Ramadhani
Depag. RI, 1989.  Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra
 Anshari,HM. 1993. Hafi Pemahaman dan Pengamalan Dakwah. Surabaya : Al Ikhlas