Minggu, 03 April 2016

WAYANG DAN PESAN DAKWAH SIMBOLIS


Wayang merupakan salah satu media dakwah yang digunakan sejak zaman penyeberan islam melalui para ulama yang sering disebut dengan “Walisongo” khususnya di kawasan tanah jawa. Pada perkembangannya meskipun sudah beratus-ratus tahun, ternyata wayang masih tetap eksis digunakan sebagai media dakwah hingga saat ini. Tentunya dengan menyesuaikan dengan kondisisi zaman dan perkembangan teknologi yang ada.

Secara harfiyah wayang berarti bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dengan film dimana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang itu dikenal dengan dalang, yang peranannya dapat didominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di Jawa.

Apabila ditinjau dari sisi asal-usulnya, pertunjukan wayang merupakan salah satu bentuk teater tradisional paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertujukan wayang yaitu yang terdapat pada Prasasti Belitung dengan 907 M yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertujukan wayang. Lebih jauh lagi menurut Sri Mulyono pertunjukan wayang timbul kurang lebih pada Zaman Neolithikum atau kurang lebih pada tahun 1500 sebelum masehi.

Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Lombok dan Kalimantan, Sumatera dan lain-lainya, baik yang masih populer maupun yang hampir punah atau sudah punah dan hanya dikenal dalam kepustakaan atau museum-museum. Dari beragam wayang, yang paling terkenal, tersebar luas dan diketahui perkembangan sejarahnya adalah wayang purwa. 

Wayang purwa atau orang awan sering menyebutnya wayang kulit adalah salah satu jenis wayang yang berupa boneka pipih yang terbuat dari kulit lembu. Penyaduran sumber ceritanya dari epos Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ke dalam bahasa jawa kuna dilakukan pada masa Jayabaya oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh serta Empu Kanwa. Sunan Kalijaga, salah seorang walisanga (Demak, Abad XV) adalah orang yang pertama kali menciptakan wayang dengan bahan dari kulit lembu.

Wayang purwa telah disebutkan dalam Kekawin Arjuna Wiwaha Karya Empu Kanwa pada zaman  pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur (1019-1043 M). Jika dihitung dari zaman itu wayang purwa telah dikenal dan digemari selama hampir seribu tahun. Pada masa Sunan Kalijaga wayang digubah sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai media dakwah  islam. Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan dengan rakyat dan juga untuk menarik simpati rakyat. Karena pada waktu itu masyarakat lebih suka dengan keramaian, maka sangat cocok apabila Sunan Kalijaga dalam berdakwah dengan menggunakan wayang yang diiringi dengan musik gamelan.

Sunan Kalijaga dan para wali lainnya menggubah wayang sehingga tidak bertentangan dengan islam. Bentuk  wayang yang semula hanya beberan (lembaran)  kemudian dipisah-pisah sehingga dapat digerakkan tokoh satu dan lainnya. Kemudian bentuknya yang semula seperti bentuk dalam arca candi kemudian dirubah, digambar dengan wajah miring dan distilasi (digayakan) sehingga jauh berbeda dengan bentuk semula dan  tidak bertentangan dengan  islam. Sunan Kalijaga beserta Sunan Bonang dan Sunan Giri menciptakan wayang punakawan pandawa yang terdiri dari semar, petruk, dan gareng.

Pada Perkembangan selanjutnya wayang dikembangkan lebih lanjut pada masa keraton Pajang, Mataram hingga Ngayogjakarta dan Surakarta. Pada masa Kesultanan Pajang dibuat wayang dengan membedakan antara raja dan  para punggawa. Pada masa Panembahan Senopati menambahkan binatang hutan. Pada masa Sultang Agung Hanyakrakusuma bentuk wayang disempurnakan bentuk mata dibedakan antara kedondongan dan  liyepan. Bentuk wayang semakin berkembang dan sempurna dengan berbagai variasinya seperti sekarang.Variasi wayang purwa (gagrag) secara umum terbagi berdasarkan daerahnya yang memiliki ciri khas masing-masing. Beberapa variasi tersebut antara lain : Gagrag Yogyakarta, Gagrag Surakarta, Gagrag Banyumasan, Gagrag Cirebonan, dan Gagrag Jawatimuran.

Wayang Purwa dengan segala perkembangannya mengandung arti dan falsafah yang sangat mendalam. Mulai dari segela perangkat peralatan yang digunakan, bentuk fisik wayang, hingga penyajian cerita dalam wayang purwa memiliki makna tersendiri. Bahkan bagi masyarakat jawa wayang bukan saja tontonan melainkan juga tuntunan. Wayang juga merupakan refleksi dari sosial kemasyaraktan dan falsafah jawa.

Cerita lakon wayang mencerminkan perlambang kehidupan manusia. Tidak hanya jalan cerita saja, tetapi penanggap wayang, dhalang, wayang dan segala perlengkapannya juga berisi perlambangan yang disebut pralambang, pralampita, atau pasemon (sindiran) sehingga terjadilah semacam anekdot “orang jawa tempat sindiran.” Caranya dengan barang, gambar, warna,bahasa dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak pralambang adalah apa yang disebut dengan “pralambang pakarti” (tingkah laku). Dalam karakter tokoh pewayangan seorang yang sakti, berilmu tinggi, sosok pandita selalu menggendong tangan kirinya, jika sedang berjalan tangan kanannya saja yang bergerak. Ini adalah perlambangan orang suci yang berilmu tinggi.

Pralambang lain yaitu pralambang berupa barang misalnya : Adas pula-waras (berarti orang sakit akan waras), pupus gedang (orang yang sakit akan mati, sanak saudaranya agar mupus/merelakan takdir Tuhan), gulungan tembakau (orang yang sakit akan dibungkus seperti menggulung rokok, karena sudah tidak dapat diobati), jarit putih (orang yang sakit akan mati dibungkus kain kafan yang berwarna putih). Adapun pralambang warna misalnya: merah berarti berani, putih berarti suci, kuning berarti luhur/agung, dan sebagainya.

Kebiasaan masyarakat jawa yang lekat dengan perlambangan ini dimanfaatkan oleh para wali untuk memasukan unsur islam ke dalam pertunjukan wayang purwa. Dalam cerita Jamus Kalimasada merupakan perlambangan dari kalimat syahadat yaitu syarat pertama seseorang memeluk islam. Tokoh wayang satriya pandawa dalam kisah mahabharata kemudian dipersonifikasikan sebagai 5 rukun islam. Bahkan kisah pewayang juga dijadikan media untuk mengajarkan tasawuf seperti dalam lakon “Bima Ngaji” atau “Dewa Ruci.”

Falsafah Islam yang lain juga terdapat dalam gunungan. Sebelum pertunjukan wayang dimulai, gunungan ditaruh di tengah-tengah  kelir yang merupakan titik pusat jangkauan mata penonton. Gunungan ini merupakan gambaran simbolis dari “Mustika Masjid.” Apabila gunungan di jungkir balik maka akan menyerupai jantung manusia. Makna yang tersirat tidak sembarangan, karena mengandungb falsafah islam. Sebagai orang hidup, jantungnya harus selalu berada di masjid. Jika orang itu belum ada niat ke masjid, berarti imannya belum sempurna. Gunungan oleh ki dalang selalu ditancapkan di tengah kelir ketika awal pertunjukan ini mengandung arti bahwa yang pertama-tama diperhatikan dalam hidup ini adalah masjidnya, yang berarti beribadah kepada Allah sebagai tujuan hidup manusia.

REFERENSI
Bustomi, Suwaji. 1993. Nilai-Nilai Seni Pewayangan. Semarang : Dahara Prize
Ismunandar K, RM. 1994. Wayang Asal-Usul dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize
Kuning, Bendung Layung. 2011. Atlas Tokoh-Tokoh Wayang dari Riwayat sampai Silsilahnya. Yogyakarta: Narasi
Mulyono, Sri. 1975. Wayang, Asal-usul. Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: BP.Alda
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize
Susilo dkk, Bambang. 1993. Seneng Wayang Cinta Budaya. Semarang: Media Wiyata



Tidak ada komentar:

Posting Komentar