Kamis, 14 April 2016

WUJUD WAYANG PURWA DALAM PANDANGAN SYARA’


Wayang kulit purwa merupakan salah satu jenis wayang kulit yang cukup populer, khususnya dalam masyarakat Jawa. Wayang kulit ini mengkhususkan diri untuk menceritakan lakon Ramayana dan Mahabarata beserta carangannya. Jika wayang kulit tidak menceritakan kedua sumber lakon yang berasal dari India itu, tidak dapat disebut wayang purwa.

Kepopuleran wayang kulit purwa itu terlihat di segala lapisan masyarakat, sejak anak-anak hingga orang dewasa. Kedekatan masyarakat dengan wayang kulit purwa itu terkadang ada orang yang menganggap dirinya sebagai tokoh Werkudara atau Gatotkaca, karena dirinya memiliki tubuh besar, kekar, gagah, dan berkumis tebal. Ada pula seseorang menyamakan dirinya dengan dewi Srikandi atau Dewi Banowati karena kenes, branyak, dan agresif. Namun ada pula yang dipanggil Bagong karena tingkah lakunya seseorang mirip dengan Bagong, salah satu tokoh punakawan.

Hal ini tidak mengherankan karena wayang kulit purwa memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan jenis wayang lainnya. Nilai-nilai yang dapat dijumpai pada wayang kulit purwa cukup banyak, seperti nilai estetis, simbolis, filosofis, historis, pendidikan, dan sebagainya. Oleh karena itu, wayang kulit purwa hidup seiring dengan perkembangan zaman. Selama nilai yang dikandungnya tetap bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya, maka selama itu pula wayang kulit purwa tidak pernah mati.

Wayang kulit purwa telah dikenal sejak lama di Indonesia, setidaknya sejak abad kesepuluh, dengan sebutan “ringgit.” Pada waktu itu belum diketahui wujud wayang kulit purwa, tetapi cerita yang dibawakan mengambil serat Harjuna Wiwaha (Mahabarata). Bahan baku yang digunakan untuk membuat wayang adalah jenis kulit binatang yang disebutnya dengan welulang inukir (Welulang=Kulit binatang, inukir= diukir, ditatah). Pada masa kebudayaan Hindu, wayang kulit mengalami perkembangan yang cukup berarti. Wujud wayang kulit mengikuti bentuk relief candi di Jawa Timur. Bentuk wayang kulit pada waktu itu diduga mirip dengan wayang kulit Bali sekarang.


Kedatangan agama Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, mendorong terjadinya perubahan yang cukup besar di berbagai bidang kebudayaan, baik menyangkut perilaku manusia maupun hasil budayanya. Salah satu bidang kebudayaan yang cukup besar mengalami perubahan adalah wayang kulit. Jenis budaya ini semula telah dikenal secara luas dan berperan dalam kegiatan keagamaan serta telah memiliki bentuk dan tatanan baku. Pada waktu itu wayang mengalami perubahan secara total, baik menyangkut wujud maupun nilai yang terkandung di dalam agama.

Sejak masuknya agama Islam hingga sekarang ini. masih dijumpai pandangan negatif terhadap keberadaan seni rupa oleh tokoh-tokoh agama Islam. Pandangan seperti itu pada awalnya dilakukan oleh tokoh tokoh ulama. Mereka dididik keras dan bersungguh-sungguh untuk menjaga kemurnian ajaran agama Islam, terutama pada awal pengembangan agama tersebut, sedangkan masyarakatnya baru saja masuk agama Islam, sehingga masih banyak terpengaruh oleh kepercayaan sebelumnya. Oleh karena itu, dijumpai cabang-cabang seni yang kurang berkembang dengan baik, bahkan tidak dapat hidup sama sekali, khususnya seni yang menggambarkan manusia dan binatang (makluk hidup), karena dianggap haram.

Hiasan untuk tempat-tempat ibadah, seperti masjid, ada aturan tersendiri. Pada pokoknya, tila hiasan itu dapat mengganggu khusuknya seseorang melakukan ibadah, misalnya hiasan yang dapat melalaikan hati orang sembahyang, sehingga berubah niatnya, hukumnya makruh. Namun bila hiasan itu mengandung lukisan manusia dan binatang, meskipun disenai tulisan Al-Qur’an atau hiasan lainnya, hukumnya adalah haram.

Sesungguhnya dalam sumber ajaran-ajaran Islam tidak tertera secara jelas tentang larangan itu. Penentuannya didasarkan pada tafsir-tafsir terhadap ayat dari kitab suci dan sunah Nabi (hadits). Oleh karena itu kondisi sosial budaya pada saat dilakukannya tafsir itu akan sangat mempengaruhi hasil tafsimya. Salah satu ayat sumber penafsiran itu adalah sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) arak, berjudi, al-anshab, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan kotor, termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.

Kaum cendekiawan muslim menafsirkan kata al-anshab diartikan sebagai patung (gambar) manusia, yaitu berhala yang disembah dan dikeramatkan di samping Allah. Oleh karena itu bagi orang beriman diperintahkan untuk menjauhinya karena syirik. Penafsiran itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa pada masa selanjutnya.

Sumber penafsiran lainnya berasal dari hadits Nabi, antara lain sebagai berikut. Pertama, hadits yang menyatakan bahwa Rosul bersabda; "Malaikat ticak akan masuk ke dalam rumah yang berisi gambar-gambar (Shurah) atau anjing"; kedua hadits ini berhubungan dengan sunah Rosul yang berbunyi "Mereka yang akan mendapat siksaan yang paling pedih di hari kiamat adalah orang-orang yang membuat patung (Al-mushawirun)"; ketiga,  disampaikan atas nama Abu Thalkah, bahwa Rosululloh bersabda "Malaikat tidak akan memasuki sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar (Shurah)"

Di samping itu terdapat sumber lainnya yang menyokong pelarangan umat muslim membuat gambar makluk hidup, antara lain :
(1) Rasulullah bersabda "Malaikat tidak akan masuk kerumah yang ada anjingnya dan ada gambarnya". (HR.Bukhari dan Muslim).
(2) Rasulullah b ersabd a:" Sungguh, orang-orang yang membuat gambar ini akan disiksa di hari Kiamat". dikatakn kepada mereka (pembuatnya): Hidupkanlah ciptaanmu! (HR Bukhari).
(3) Rasulullah bersabda: "Allah azza wa jalla berfirman: Siapakah orang yang lebih aniaya daripada orang yang membuat ciptaan seperti ciptaanKu? Ciptakanlah bijinya, atau ciptakanlah benihnya!" (HR. Bukhari dan Muslim). (4) Dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda: Jibril as datang kepadaku, ia berkata: Saya datang kepadamu kemarin dan tidak ada yang mencegah saya untuk masuk selain karena ada gambar di pintu, ada kelambu di rumah yang bergambar dan di rumah yang ada anjingnya, diperintahkan agar kelambu itu di potong sehingga seperti bentuk pohon, perintahkan agar kelambu itu dipotong, jadikanlah kelambu itu sebagai bantal untuk duduk, perintahkan agar anjing itu keluar, kemudian Rasulullah saw', melakukannya (Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa I Ahmaddan Ibnu Hibban).
(5). "Ali berkata kepadaku, ingatlah, saya perintahkan kepadamu seperti yang diperintahkan kepadamu agar engkau tidak membiarkan patung kecuali ergkau hancurkan dia, dan tidak membiarkan kubur yang dimuliakan kecuali engkau ratakan dia (HR. Muslim, Abu Daud dari Tirmidzi dari Abu HayyajAl Asadi).

Namun dijumpai pula sumber pandangan yang melunakkan larangan terhadap seni rupa (penggambaran makluk hidup) dalam ajaran Islam, sehingga mendorong munculnya gaya seni dalam budaya Islam. Sumber itu adalah:

(1). Ibnu Abbas berkata (kepada seseorang pambuat gambar): Saya mendengar Rasulullah saw bersabda "Barang siapa yang membuat sebuah gambar di dunia ini maka ia akan dibebani untuk meniup nyawanya kelak di hari Kiamat dan ia tidak akan mampu (HR. Bukhari dan Muslim, dan lafadz hadist ini dari Muslim) ...... Ibnu Abbas menasehatkan "Kalau kamu memang harus melakukannya maka buatlah gambar pohon-pohonan dan lain-lainnya yang tidak bernyawa.
(2). Dari Aisyah ra Rasulullah saw. datang dari suatu perjalanan dan saya telah memasang kelambu yang bergambar. Beliau menyuruh saya untuk melepaskannya, maka sayapun melepasnya (Riwayat Bukhari). Dalam Riwayat Muslim disebutkan 'Saya telah menutup pintu dengan kelambu yang bergambar dengan kuda bersayap". Dalam Riwayat Muslim lainnya, disebutkan "Rasulullah saw. masuk ke kamarku dan saya menutupnya dengan kelambu yang bergambar". Rasulullah saw. melepaskannya kemudian saya jadikan untuk dua bantal.
(3) Aisyah berkata "Kami bermain-main dengan boneka di masa Rasulullah, kami mempunyai teman-teman yang bermain bersama kami. Pada waktu Rosuluilah masuk, mereka bersembunyi. Beliau menyuruh mereka agar keluar dan bermain bersama kami.

Banyak ulama muslim yang menafsirkan hadits tersebut, di antaranya Asy-Syaukani, An-Nawawi, Ash-Shabuni, dan Al-Aini. Dalam tafsirnya, itu secara garis besar mereka mengharamkan pembuatan gambar (patung) manusia. Pelarangan pembuatan gambar (patung) manusia dan binatang itu didasarkan pada kekhawatiran masyarakat muslim akan kembali ke penyembahan berhala, karena mereka baru saja masuk agama Islam, sehingga tradisi yang telah dialami sebelumnya akan mudah kembali dalam kehidupannya. Namun setelah Rosululloh merasa pasti akan keteguhan iman dari orang-orang Arab, maka beliau memperkenankan patung-patung itu dan tidak mempersoalkan lebih jauh.

Pandangan ulama yang melarang penggambaran makluk hidup itu sangat mempengaruhi seniman muslim, sehingga karyanya tidak ada yang realistik. Kemampuan artistiknya beralih pada motif-motif dekoratif yang bercorak flora dan geometrik. Seniman muslim sangat terlatih dalam bidang pembuatan ornamen yang penuh dengan penggayaan atau stilistik untuk berbagai keperluan.

Kepiawaian dalam bidang ini menyebar ke dunia Barat, yang kemudian dikenal dengan gaya Arabesque. Kebiasaan dalam berkarya dengan gaya stilisasi bentuk itu difungsikan dalam menggambar manusia atau binatang, sehingga tampilannya tidak lagi realistik. Oleh karena itu produk-produk seni rupa pada masa Islam dipenuhi oleh gaya stilistik yang nimit dan mengagumkan.

Wayang kulit merupakan produk budaya yang dihasilkan jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, yang hingga kini keberadaanya masih dipertahankan. Namun dalam kelangsungannya wayang kulit mengalami perubahan drastis, baik menyangkut bentuk maupun pemaknaannya. Wayang kulit purwa yang telah  menemukan bentuknya pada masa Hindu Jawa, pada masa Islam mengalami pembahan di segala bidang, dari tampilan wujud hingga fungsinya yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran dan aturan dalam agama Islam.

Memasuki masa Islam di Indonesia, wayang kulit purwa berkembang pesat setelahterjadi akulturasi antara budaya lama dengan budaya baru, yaitu ajaran Hindu dan Islam, sehingga wujud wayang kulit menjadi suatu karya seni yang tinggi nilainya. Wayang berkembang secara menyeluruh, baik secara fisik maupun nilai simbolisnya. Penggambaran lokoh wayang bergaya relief candi mulai ditinggalkan dan digantikan dengan gaya stilistik dan mengarah pada perlambangan. Pada masa Islam ini ditegaskan bahwa penggunaan kulit sebagai bahan baku wayang yang sebelumnya belum disebutkan secara jelas, tetapi pada masa ini digunakan kulit binatang kerbau, bahkan bahan pewarna putih menggunakan tepung tulang kerbau, yang pada waktu itu dikenal dengan sebutan putihan balung.

Stilisasi bentuk wayang kulit purwa sudah sangat jauh dari sumbernya. Namun demikian bentuk wayang kulit masih dapat dikenali bagian-bagiannya. Bentuk wayang kulit purwa yang telah digayakan sedemikian jauh itu membuat sangat berbeda dengan wujud manusia. Dalam seni rupa modem, penampilan wayang kulit purwa tergolong ideoplastik, yaitu penggambaran sesuatu berdasar pada apa yang diketahui, bukan apa yang dilihat.

Oleh karena itu penggambaran manusia pada wayang kulit diusahakan sesuai dengan kondisi manusia sebenarnya, seperti yang tertangkap oleh ide. Secara filosofis tidak salah, karena mata tidak lebih istimewa dibandingkan dengan pikiran, jadi gambaran yang menurut pengamatan mata (visioplastik) tidak lebih baik dan benar dari penggambaran menurut pikiran.

Gaya penggambaran wayang kulit purwa yang demikian itu merupakan pilihan para ahli pada saat itu dan merupakan akibat dari langkanya penggambaran secara realistik. Hal ini ditempuh agar wayang kulit purwa dapat tampil dengan baik dan tidak melanggar larangan menurut ajaran agama Islam. Dengan demikian, wayang kulit purwa dapat diterima dalam agama Islam, karena tidak lagi menggambarkan manusia atau binatang secara realistis. Kenyataannya, wujud wayang kulit purwa sudah berbeda jauh dengan gambar manusia.

Walau wayang kulit memiliki mata, hidung, mulut, dan bagian lainnya, tetapi sudah tidak sama lagi, tidak mirip dengan mata, hidung, dan mulut orang. Namun demikian, hidung yang runcing. mata sipit dan panjang, serta bentuk mulut yang berkelok-kelok, leher kecil sebesar lengan, tangan yang panjang hingga menyentuh kaki, seperti Arjuna sebagai sosok yang bagus dan rupawan, justru menjadi idola masyarakat pendukung wayang kulit purwa.
gambar bentuk mata wayang

gambar bentuk hidung wayang
gambar wayang Arjuna

Tokoh wayang kulit purwa berdasar atributnya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
(1) golongan raton (untuk kelompok raja/ratu);
(2) golongan satria (untuk tokoh yang berbusana kasatrian  dan tokoh putri);
(3) golongan Bala (untuk tokoh-tokoh prajurit, rucah, dan tokoh punakawan (dagelan).

 Di samping itu dalam pengelompokkan tokoh wayang purwa dapat dilakukan berdasar pada karakternya, yaitu alusan luruh, alusan lanyap (branyak), pidekso, gagahan, gusen, denawa (bangsa raksasa), rewanda (bangsa kera) dan dagelan.

Kedelapan kelompok tokoh wayang kulit purwa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Karakter alusan uruh. Tokoh wayang purwa yang termasuk dalam kelompok ini adalah tokoh yang bertubuh ramping, bermata liyepan atau gubahan, posisi muka tumungkul, pandangan mengarah pada kakinya. Contohnya Prabu Rama, Arjuna, Abimanyu, Sembadra, Bambang Irawan, dan Leksmana.


(2) Karakter alusan lanyap (branyak). Pada umumnya yang termasuk dalam kedompok ini adalah tokoh yang berbadan kecil dan ramping, bermata liyepar. (gabahan) dengan posisi muka langak, yaitu pandangan lurus ke depan. Sebagai contoh misalnya: RadenSamba, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, dan Kresna.

(3) Karakter Pidekso. Tokoh yang termasuk dalam kelompok ini umumnya berbadan sedang dan berisi dengan bentuk mata dinamakan kedelan, berhidung sembodo. Contohnya tokoh: Setyaki, Udawa, Salya, Resi Seta, dan Utara.

(4) Karakter Gagahan. Tokoh wayang purwa dalam kelompok ini umumnya berpenampilan kekar dan berotot, bermata thelengan atau peten, berhidung bentulan. Misalnya Werkudara, Gatutkaca, Duryudana, Antareja, dan Antasena.


(5) Karakter Gusen. Tokoh wayang kulit purwa dalam kelonpok ini berpenampilan brasak dengan menonjolkan gambaran gusi. Ada dua jenis gusen, yaitu gusen langgung (gusen alus) dan gusen gagahan. Tokoh-tokohnya antara lain Dursasana, Burisrawa, patih sengkuni, Durmagati, dan Pragota


(6) Karakter denawa (Raksasa). Tokoh wayang purwa yang masuk dalam kelompok ini umumnya bertubuh besar, bermata plelengan ageng, kiyipan. berhidung pelokan dan bemulut ngablak. Misalnya Kumbakarna, Prahasta, Suratrimantra, dan Brahala.

(7) Karakter rewanda (Wanara). Tokoh yang termasuk dalam kelompok ini adalah tokoh yang menggambarkan kera, sehingga memiliki ciri khas, seperli berekor panjang, bermata pecicilan, dengan penggambaran bulu-bulu pada sekujur tubuhnya dengan pewarnaan sesuai dengan karakter tokohnya. Misalnya Anoman (berwarna putih), Anggodo (berwarna kapurento), Anila (berwarna biru), Jembawan (berwarna merah muda) dan Suwidho (berwarna hitam).


(8) Karakter dagelan. Dalam kelompok ini wujud tokohnya bermacam-macam. Masing-masing tokoh memiliki ciri khas tersendiri, berpenampilan lucu dari tidak proporsional. Golongan dagelan atau punakawan merupakan kelompok tersendiri dalam wayang kulit purwa, karena atribut yang sederhana, tampilan yang aneh-aneh namun mengundang tawa yang dapat menyegarkan suasana. Tokoh-tokoh punakawan selalu saja menjadi sarana untuk menyampaikan informasi-informasi dari dalang kepada masyarakat, ketika pergelaran wayang kulit purwa sedang diselenggarakan, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah yang bergayutan dengan keperluan pemerintahan maupun masalah sosial lain yang aktual dalam masyarakat. Tokoh punakawan, yang benmknya tidak proporsional jika dibandingkan dengan tokoh wayang dan kelompok lainnya, merupakan salah satu ciri khasnya. Bentuk yang lucu dan mengundang tawa, umumnya menjadi tidak wajar, mengandung arti simbolis. Tokoh-tokohnya antara lain Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Bilung, Limbuk, dan Cangik.

 Pengaruh agama Islam dalam wayang kulit purwa tidak hanya pada bentuk secara global, tetapi nampak pula pada penerapan ornamentasi busana wayang. Seperti penggambaran motif poleng bang bintulu aji, umumnya dipakai oleh tokoh-tokoh bayu, dengan memakai wama-wama merah, putih, kuning, dan hitam, hal itu merupakan bentuk simbolisasi dari nafsu manusia, yang di dalam ajaran Islam disebut dengan lawamah, sufiah, amarah, dan mutnainah. Nafsu merah dari anasir api, hitam dari anasir tanah, kuning dari anasir udara (suasana) dan putih dari anasir air. Empat anasir itu merupakan unsur pembentuk jasmani manusia, yang masing-masing membawa sifat aslinya.



Budaya keislaman dalam wayang kulit purwa tidak saja dijumpai pada wujud seperti diuraikan di atas, tetapi diketemukan pula pada istilah-istilah dalam bahasa pedhalangan, bahasa wayang, nama tokoh wavang, dan lakon (cerita) yang dipergelarkan. Satu hal yang sangat menonjol dalam penggambaran wayang kulit terlihat pada penggambaran tokoh Batara Guru salah satu tokoh dewa yang bertangan empat. Penggambaran tokoh ini masih mengacu pada penggambaran tokoh dari masa Hindu seperti terdapat pada relief candi.



Sebagai penutup uraian ini, dapat disimpulkan, bahwa larangan penggambaran makluk hidup dalam agama Islam tidak membatasi perkembangan tetapi justru mendorong terbentuknya gaya penggambaran baru dalam wayang kulit purwa. Wujudnya dibangun berdasar keahlian seniman muslim dengan gaya stilistik. Hal ini karena ada tuntunan yang mengharamkan penggambaran makhluk hidup.


Penggambaran wayang kulit dengan gaya stilitik tidak lagi menggambarkan bentuk manusia secara natural, tetapi telah diolah sedemikian rupa sehingga tidak lagi melanggar larangan agama. Gaya penggambaran wayang kulit purwa pada masa Islam, dalam seni rupa modem dinamakan penggambaran manusia secara ideoplastik, yakni penggambaran berdasarkan apa yang dipikirkan. Pengaruh Islam dalam wayang kulit purwa tidak saja pada bentuknya, tetapi telah merambah pula pada aspek simbolisasi dan aspek lain yang berhubungan dengan pergelaran wayang kulit purwa.


DAFTAR PUSTAKA
Aboebakar.H. 1955. Sejarah Masjid dan Amal Ibadah di Dalamnya. Banjarmasin : Toko Buku Adil
Guritno, Pandam, 1988. Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta :UI Press
Poedjosoebroto, R., 1978. Wayang Lambang Ajaran Islam ,Jakarta: Pradnya Paramita
Sunarto, 1989. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta, Jakarta; Balai Fustaka,.
Sunarto. Tanpa tahun. Pengaruh Islam dalam Perwujudan Wayang Kulit Purna. Jurnal Seni Rupa dan desain.
Sunarto Yudosaputro, Wiyoso, 1986. Pengantar Seni Rupa Islam Indonesia. Bandung: Angkasa

Zarkasi, Effendy, 1977.Unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung : PT Al-Ma’Arif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar